Rabu, 31 Maret 2010

Tidak Mengkritik, Menyalahkan Dan Mengeluh

Eugene OKelly awalnya adalah presiden merangkap CEO dari perusahaan akuntan terkenal dunia. Bulan Mei 2005, ia menderita penyakit lumpuh pada pipi kanan (cheeks paralysis), saat pergi periksa ke rumah sakit, dokter mendiagnosanya sebagai tumor otak tingkat akhir, usianya tinggal 3 hingga 6 bulan.

Meskipun berada di tengah bayangan redup kematian, Kelly tidaklah menung-gu kematian dengan duduk tepekur dengan sedih, sebaliknya dengan aktif melakukan pencatatan 100 hari lebih pasca diagnosa sampai dengan kematiannya, telah menyelesaikan buku berjudul “Mengejar Sinar Mentari”. Dalam buku tesebut dipenuhi dengan gelora kehidupan dan terjual laris di seluruh dunia. Membaca buku itu, membuat saya sering kali merenung.

Apabila Anda hanya bisa menikmati 100 hari lebih, bagaimana Anda melewatinya? Pekerjaan apakah yang hendak Anda manfaatkan untuk hari-hari terakhir? Terhadap orang terkasih, akankah mengatakan perkataan yang biasanya tidak berpeluang mengatakannya?

Terinspirasi oleh buku tersebut, saya menelpon adik perempuan saya, memuji ke-lebihannya yang tidak suka mendendam. Tidak mendendam, betul-betul bukan hal yang mudah, terhadap orang-orang tertentu saya sendiri kadangkala masih bisa merasa sakit hati.

Saya pernah membaca sebuah berita tentang Sri Paus Yohanes ke 23. Beliau pernah mengingatkan diri sendiri di dalam catatan hariannya, harus menghindari mengkomplain dan menyalahkan orang lain. Dari situ bisa terlihat beliau hendak menjadi seorang yang berlapang dada dan tidak suka melihat kekurangan orang lain, juga dibutuhkan koreksi diri yang terus menerus dan kesadaran.

Itulah sebabnya, di dalam Golden Rule (aturan emas) Carnagie tentang hubungan interpersonal, nomor satu ialah: “Tidak mengkritik, tidak menyalahkan, tidak mengeluh.”

Coba bayangkan, apabila ke dalam sebuah botol yang sudah terisi penuh dengan kerikil, tak peduli bagaimana seringnya Anda menuangkan air ke dalamnya, pasti botol itu hanya mampu memuat sedikit air saja, hanya apabila Anda mengosongkan botol tersebut, baru bisa menuangkan air ke dalamnya.

Hubungan interpersonal juga memiliki logika yang sama, apabila terhadap orang lain Anda dipenuhi dengan kritikan, teguran dan keluhan, maka antara dia dan Anda tak akan mampu “teraliri” niat baik dan kehangatan, sangat sulit menegakkan komunikasi yang baik dan interaktif.

Oleh karena itu, Carnegie menorehkan “3 tidak” ini sebagai rule nomor 1 dari Golden Rule, sesungguhnya memiliki makna pengertian yang sangat mendalam.

Pada dasarnya, “Tidak mengritik, tidak menyalahkan orang, tidak mengeluh” justru adalah semacam “perombakan batin” yang mengubah kita dari sikap yang sebelumnya negatif, runcing tajam, suka mengritik, berubah menjadi proaktif dan positif. Kemudian, tanpa diduga Anda akan menemukan, ketika Anda sudah berubah, seiring dengan itu hubungan Anda dengan orang lain juga akan berubah.

Teringat sewaktu saya baru saja datang ke Amerika untuk mengikuti workshop Carnegie, sudah berusia 40 tahun lebih, telah mengumpulkan sedikit pengalaman hidup, demi nama besarnya menempuh ribuan km, tak dinyana pelajaran pertama adalah “Tidak mengkritik, tidak menyalahkan orang, tidak mengeluh”, reaksi pertama saya adalah: “Hanya ini saja?! Bukankah terlalu sederhana?” Untuk sesaat, betul-betul merasa agak kecewa.

Pelajaran waktu itu harus ditempuh selama 14 minggu, sesudah 14 minggu, saya sekonyong-konyong menemukan, telah terjadi perubahan gaib pada diri sendiri, “3 tidak” yang digarisbawahi oleh Carnegie, dilihat sekilas nampak sangat mudah, akan tetapi prinsip termudah kadangkala adalah yang termujarab.

Sewaktu di AS saya berkenalan dengan seorang asisten khusus dari presiden direktur sebuah perusahaan besar, wajahnya cantik, namun pergaulannya tidak mulus, sering kali cekcok dengan teman sejawat, dia sendiri juga merasa tidak enak di hati, maka itu suasana hatinya sangat gundah.

Suatu hari, presdir perusahaan berkata kepadanya, “Idealnya Anda cari cara untuk menyelesaikan persoalan interpersonal, jika semua kepala bagian setiap departemen masih saja tidak mampu bekerja sama dengan Anda, maka sayapun tak kuasa melindungi Anda lagi.”

Karena itu, wanita tersebut lantas menerima training Carnegie dan mempelajari “3 tidak”. Kemudian, saya menjumpai presdir tersebut, ia memberitahu saya, “Sesudah beberapa minggu, saya seolah tidak berani mempercayai mata saya, saya melihat dengan mata kepala sendiri perubahan pada diri wanita tersebut.”

Karena mempertahankan prinsip 3 tidak, dia tidak lagi sebagai landak yang perlu dihindari oleh orang-orang, hubungan interpersonalnya telah memperoleh perubahan sangat baik.

Setiap orang bisa saja memiliki duri tajam yang tidak saja melukai orang lain, pada akhirnya ia juga bisa melukai diri sendiri. Bagaimana dari berduri-tajam berubah menjadi batu yang bulat mulus, yaitu harus menjalankan tidak mengkritik, tidak menyalahkan orang, tidak mengeluh.

Prinsipnya sedikitpun tak sulit dipahami. Ketika Anda mengritik dan menyalahkan orang lain, justru seperti menempuh sebuah marabahaya, sangat mungkin melukai kehormatan orang tersebut.

Meskipun kritikan dan teguran Anda bermaksud baik, tapi begitu martabat pihak lain terusik, meski ia tahu dirinya keliru, bisa saja mati-matian membela diri, itulah sebabnya kritik dan teguran serta keluhan, kadangkala hanyalah semacam pelampiasan emosi, yang tak mampu menyelesaikan masalah, malah membuat jarak interpersonal semakin menjauh.

Meskipun hubungan yang paling akrab pun, mungkin saja karena kritik dan teguran serta keluhan lantas menjadi renggang.

Sewaktu kecil, saya sering mangkal di depan gereja menonton misa. Ada seorang pastor bule warganegara Kanada acap kali mengingatkan jemaatnya, hal yang paling mengandung daya perusakan terhadap hubungan keluarga ialah kritik. Banyak orang sebagai suami, atau istri, setiap hari mengomel, senantiasa menunjukkan kekurangan dan kejelekan pihak lain, alhasil perkawinan mereka menjadi hancur.

Kala itu, kami merasakan yang dikhotbahkan sang pastor tidak terlalu masuk akal, akan tetapi, sesudah melalui perjalanan hidup selama ini, menyaksikan banyak perkawinan yang semestinya bisa harmonis toh akhirnya berantakan, mau tak mau mengakui bahwa sang pastor telah melihat bahwa kritikan, teguran dan keluhan, betul-betul adalah pisau tajam bagi kelangsungan hubungan akrab.

Marilah kita simak kisah murid Carnegie, pasutri Li Limei dan Qiu Jiquan.

Limei dan Jiquan yang telah lama menikah, tiba-tiba perkawinannya mengalami gelombang surut. Jiquan yang mengajar selain sibuk di kantor, juga setiap urusan selalu mendahulukan teman-temannya pada posisi utama. Sudah berjanji hendak piknik sekeluarga, namun begitu temannya menelpon mengajak main majong (red.: sejenis permainan judi khas Tiongkok), Jiquan dengan segera mendampingi temannya bermain majong.

Sebetulnya ia juga tidak suka main, hanya saja tidak ingin mengecewakan mereka. Juga pernah suatu kali, karena teman ada urusan hendak ke luar negeri selama 2 minggu, Jiquan dengan suka rela setiap hari tepat waktu memberi makan anjingnya, namun mendampingi keluarga makan di luar pun malah tak rela.

Limei merasa dirinya dicampakkan, wajar saja kalau mengajukan protes. Karena cara penyampaian yang tanpa tedeng aling-aling, Jiquan juga tak mau kalah membalas beberapa patah kata. Kedua orang itu larut dalam saling melempar kata-kata tajam bak pedang. Akhirnya lagi-lagi perang dingin selama beberapa hari.

Akhirnya Limei memberanikan diri, mengikuti workshop Carnegie di Tai Dung, Taiwan, dan ia berkesimpulan:

Daripada harus mengubah suami, mendingan mengubah dahulu sikapnya terhadap sang suami. Ketika Jiquan sekali lagi pulang larut malam, Limei membatalkan sikapnya yang pada awalnya hendak siap perang, diubahnya dengan proaktif menyajikan secangkir kopi kepada suami, Jiquan merasa terkejut, pasangan itu mulai berdialog dengan hati tenang dan nada menyejukkan.

Oleh karena Limei tidak lagi dipenuhi dengan keluhan, hubungan pernikahan tersebut mengalami kemajuan, kemudian Jiquan mengikuti workshop Carnegie, menjadi adik seperguruan dari istri dan putrinya, ia memutuskan mengubah sikap acuhnya selama bertahun-tahun terhadap keluarganya, mengharapkan mereka menjadi manusia paling berbahagia di seluruh dunia.

Sekarang, Limei dan Ji-quan mengelola penginapan di Tai Dung. Pepohonan dan perdu di taman semuanya dikerjakan Jiquan. Di saat ada tamu berkunjung, penyajian teh ataupun kopi juga dilayani olehnya, total bagaikan seorang lelaki baik-baik yang lagi kasmaran. Segala perubahan ini, semuanya bermuara dari “3 tidak”nya.

Marilah kita menggunakan “3 tidak” pada berbagai hubungan interpersonal, maka Anda akan menemukan, efeknya begitu menakjubkan.

Belakangan ini, para politisi sedang gemar “Bicara ceplas-ceplos”, saling menyerang dengan perkataan yang menusuk tajam, sama sekali tidak ada dialog, hanya saling menyemprotkan air liur.

Saya percaya, jikalau para politisi bisa menyadari makna sesungguhnya dari “tidak mengkritik, tidak menyalahkan orang, tidak mengeluh”, mengurangi konfrontasi yang negatif itu, masyarakat kita pasti bisa berubah harmonis dan jauh lebih indah.

Kembali ke buku “Mengejar Sinar Mentari”, diban-dingkan dengan Eugene O Kelly, kita sungguh-sungguh jauh lebih beruntung, namun jangan dilupakan, kehidupan itu ada batasnya, apabila kita menganggap setiap hari sebagai hari terakhir dari kehidupan kita, maka akan menemukan, memboroskan waktu untuk kritik, celaan dan keluhan, adalah hal yang sangat tidak bernilai. Disadur dari Kalkulasi Kehidupan

1 komentar:

  1. Untuk melindungi telapak kaki, lebih gampang memakai sandal dari pada menutup seluruh permukaan bumi dengan permandani.

    BalasHapus