Sabtu, 20 Maret 2010

Kebahagiaan Sedang Bernyanyi

Mendengar Kebahagiaan Sedang Bernyanyi

Untuk sebuah program baru, selama berhari-hari ia berkutat di depan komputer. Setelah akhirnya terselesaikan, ia menghela nafas panjang berdiri di depan komputernya. Mendadak matanya menjadi gelap, tidak kelihatan apa-apa.

Setelah didiagnosa, dokter mengatakan bahwa ia telah menggunakan mata secara berlebihan sehingga terjadi kebutaan sementara. Dengan pengobatan teratur dan istirahat yang cukup, tak lama kemudian matanya akan kembali seperti sedia kala.

Terjerumus ke dalam kegelapan secara mendadak, membuatnya menjadi risau bercampur cemas. Kadang kala ia berteriak histeris, sebentar diam, lalu sebentar sedih sambil berkeluh kesah sendiri. Istrinya justru menunjukkan ekspresi wajah yang tenang seolah tidak terjadi apa-apa.

Dengan suara lembut ia meng-hibur dengan berkata, “Dokter bilang, istirahat yang cukup akan cepat pulih kembali, tidak ada gunanya dirimu merasa cemas, lagipula itu tidak baik bagi matamu. Toh tidak perlu masuk kerja, juga tidak ada rapat dan dinas keluar, juga tidak perlu bergadang. Lebih baik bersantai saja dan anggaplah sakit kali ini sebagai suatu liburan, sekaligus juga menemani saya di rumah.”

Mudah bagi istrinya untuk mengatakannya, namun bagi dirinya yang sedang terperosok di dalam kegelapan, selalu merasa tak kuasa melawan perasaan takut yang datang mendadak. Terlebih di saat suasana rumah sedang sunyi, ia lebih merasakan kehampaan yang tiada tara.

Istrinya seperti mengerti jalan pikirannya, segera dibelinya 3 buah lonceng kecil. Satu pasang diletakkan di pinggir bantalnya, yang cukup digoyangkannya jika ada keperluan, dan sang istri akan segera datang begitu mendengar suara lonceng itu. Satu buah lagi dipasangkan di pegelangan tangan anak perempuan mereka, dan yang satu lagi dibawa oleh sang istri. Dengan demikian di mana pun mereka berada, sedang mengerjakan apa pun, ia akan segera tahu begitu mendengarnya.

Sejak itu di berbagai penjuru rumah terdengar bunyi lonceng, wujud rumah itu bersama dengan istri dan anaknya pun seolah kembali hidup di hadapannya, ia tidak lagi merasakan kehampaan yang tiada batas di sekitarnya. Sepasang lonceng miliknya sendiri jarang sekali dipakai, karena istrinya sudah mengurus berbagai keperluannya dengan cermat.

Ia konsentrasi terhadap bunyi kedua buah lonceng tersebut. Pada awalnya ia hanya bisa merasakan bunyi lonceng itu yang kacau balau. Kemudian ia perlahan-lahan bisa membedakan suara mana yang berasal dari lonceng istrinya dan anaknya.

Suara lonceng dari anak perempuannya selalu tergesa-gesa dan nyaring, lebih-lebih setelah ia pulang dari sekolah dan masuk ke dalam rumah, ia selalu mengambil lonceng yang disimpan di atas rak sepatu begitu tiba di rumah lalu memasangkannya, yang akan bergoyang mengeluarkan suara “ting-tang-ting-tang” seiring dengan ia berlari sepanjang jalan menuju ke tempat tidurnya lalu tengkurap di atas tubuhnya sambil berteriak, “Ayah, hari ini guru mengajarkan aku sebuah lagu bahasa inggris yang baru, saya nyanyikan untuk ayah ya.”

Suara lonceng yang nyaring dan suara lagu kekanak-kanakan memenuhi seluruh penjuru rumah. Sambil mendengarkan lagu itu, ia membayangkan setiap ekspresi dan gerakan dari anak perempuannya itu, mau tidak mau dari wajahnya merekah sebuah senyuman. Pada saat itu barulah disadarinya bahwa telah sedemikian lamanya ia tidak merasa keakraban dengan putrinya itu.

Sementara suara lonceng istrinya mengalun pelan dan mantap, membuatnya teringat di kala ia sering pulang larut malam, sang istri selalu menyambut dengan suara lirih yang bertanya, “Sudah makan? Saya sudah menyiapkan sup jamur kuping putih…” Setiap kali berada di rumah, suara lonceng yang mantap ini bagaikan suara aliran sungai yang bergulung-gulung tiada hentinya, tidak deras juga tidak pelan, tidak ada waktu untuk beristirahat; cuci sayur, masak nasi, mengelap meja, menyapu lantai, selang beberapa waktu datang berbicara sebentar dengannya. Seperti tidak mengenal lelah, tangannya selalu sibuk dengan sesuatu hal.

Kalau dulu sepulang dari kantor, ia selalu merebahkan diri di atas sofa dan tak bergerak sama sekali, dan selalu mengeluhkan betapa capeknya dirinya. Istrinya yang juga bekerja seperti dirinya, sepulangnya dari kerja justru tetap sibuk tiada hentinya oleh pekerjaan rumah, sebenarnya sang istri juga sama lelahnya dengan dirinya.

Ketika putrinya sedang sekolah dan istrinya sedang keluar rumah mengurus sesuatu, pasti akan diletakkannya sebuah radio kecil di samping ranjang suaminya itu, dia bilang itu untuk mendengarkan lagu-lagu dan berita. Tapi ia merasa lebih baik melamun sambil mendengar suara deru mobil di luar jendela, dan sama sekali tidak ingin menyetel radio. Yang disenanginya hanyalah komputer, radio baginya hanyalah produk yang berteknologi rendah.

Istrinya berkata, “Kamu sudah lupa? Sewaktu kita kuliah, kamu paling suka mendengarkan siaran radio, terlebih mendengar acara stasiun radio yang bisa meminta lagu. Ingat sewaktu ulang tahunku yang ke-20, engkau bilang akan memberikan sebuah hadiah spesial bagiku.”

“Hari itu, aku menantikan ha-diah pemberianmu, akan tetapi seharian tidak terlihat batang hidungmu. Hampir menjelang siang baru ada telepon darimu, yang menyuruhku untuk mendengar siaran radio. Tak lama setelah menyalakan radio, terdengar penyiar itu menyebut namaku, yang mengatakan bahwa ada seorang pria yang mencintaiku telah meminta diputarkan lagu yang berjudul Rembulan Hatiku, dan mendoakan ulang tahunku.”

“Ketika radio melantun lagu itu, aku sungguh-sungguh merasakan kebahagiaan yang tidak bisa kukatakan dengan kata-kata. Teman satu kos merasa iri padaku. Kemudian hari engkau memberitahu bahwa agar aku bisa mendengarkan lagu ini tepat pada hari ulang tahunku, kamu telah menulis surat satu bulan lebih awal pada pembawa acara dari stasiun radio tersebut. Selain itu, karena takut si penyiar radio tidak menerima suratmu, engkau sengaja pergi ke stasiun radio tersebut. Itu merupakan hadiah ulang tahun terindah sepanjang hidupku.” Dalam suara sang istri tersirat kebahagiaan dan juga sebersit kebingungan.

“Apakah aku seromantis itu?”, jika bukan sang istri yang mengingatkan, dirinya pun sudah lupa akan hal itu.

“Tentu. Tapi setelah menikah, kian hari kian tidak romantis”, kata istrinya sambil tertawa, namun tidak ada nada keluhan sama sekali.

“Sebenarnya aku juga ingin romantis, juga ingin membuatmu bahagia. Saya selalu berpikir agar suatu hari nanti jika ada kesempatan aku pasti akan mengajakmu berlibur…”, bicara sampai disini wajahnya menjadi muram.

Sambil menghela nafas berkata, “Sepertinya angan-angan itu tidak begitu realistis…”

Seperti tidak mendengar helaan nafasnya, sang istri berkata, “Kamu kira hanya liburan yang bisa disebut romantis? Sebenarnya setiap hari bisa makan malam bersamamu, berbincang-bincang denganmu saya merasa sudah cukup romantis. Dalam syair sebuah lagu : “yang terpikir olehku hal yang paling romantis adalah bersama dengan dirimu hingga perlahan-lahan menjadi tua…” Ini baru benar-benar romantis, kebahagiaan yang agung.”

Lagu ini juga sering didendangkan oleh sang istri, akan tetapi hanya pada saat itu, saat ia hanya mampu menggunakan telinga untuk merasakan dunia ini, dia baru bisa benar-benar memahami arti syair dalam lagu ini, mendendangkan kebahagiaan yang sederhana.

Rebah di atas ranjang, ia mendapatkan pemahaman baru terhadap kehidupannya, juga menjadi sangat mengharapkan agar matanya bisa segera sembuh.

Setelah delapan bulan, matanya benar-benar telah sembuh!

Untuk merayakan kesembuhannya, diajaknya keluarganya untuk makan bersama di luar. Lampu-lampu jalanan yang gemerlapan, arus manusia yang lalu lalang tiada hentinya, pemandangan ini dulunya dianggap sangat biasa, kini seolah telah berubah menjadi sangat indah di matanya. Sewaktu makan, ia memilihkan menu untuk anak dan istrinya, lalu memusatkan perhatian melihat mereka makan, ada semacam kebahagiaan di dalam hati yang tidak bisa diungkapkan-nya.

Putrinya berkata, “Ayah, saya berharap mata ayah segera sembuh tapi juga berharap agar ayah jangan segera sembuh.” Dengan marah sang istri memelototi putri mereka dan berkata, “Kamu ini bicara apa sih!”

Sang putri tidak menghiraukan ibunya, terus menatap ayahnya dan melanjutkan perkataannya, “Dua hari setelah mata ayah mengalami kebutaan, saya mencoba untuk berjalan mengelilingi rumah dengan mata terpejam, saya merasakan bahwa mengalami kebutaan memang sangat menderita. Memikirkan penderitaan yang ayah pikul, saya juga merasa sangat menderita, lalu saya berharap agar ayah bisa segera sembuh. Lagipula, jika mata ayah belum sembuh, setiap hari ibu selalu diam-diam menangis, sampai mata ibu menjadi lebam.” Ia memandang istrinya dengan terkejut.

Mata istrinya pun memerah dan berkata, “Hari-hari itu sebenarnya saya sangat takut, karena dokter berkata pada saya, bahwa kejadian seperti kamu ini sangat bervariasi. Ada yang bisa segera sembuh, bisa segera pulih penglihatannya, ada juga yang setelah selang beberapa tahun pun tidak ada perbaikan. Saya sungguh…”

Matanya pun ikut memerah, lalu dirangkulnya pundak istrinya dengan erat tanpa bisa mengeluarkan kata-kata. Bisa dibayangkan, selama hari-hari itu, istrinya telah terbebani oleh tekanan yang sangat besar.

Anaknya berkata lagi, “Saya juga takut jika mata ayah telah sembuh, ayah tidak serius lagi mendengarkan aku membaca pelajaran dan menyanyi. Dan ayah akan pulang larut malam lagi, setiap hari aku tidak akan dapat menjumpai ayah lagi.”

Tangan lainnya segera merangkul putrinya. Dengan suara sesunggukan ia berkata, “Tidak akan. Ayah pasti tidak akan selalu menjadi pendengar yang baik apabila kamu bernyanyi dan selalu menemani ibumu berbincang-bincang..”

Hari itu setelah tiba di rumah, ia sengaja menggantungkan tiga buah lonceng itu di dalam mobilnya. Setelah itu, setiap ia meninggalkan rumah, di saat mobilnya meluncur di jalan, lonceng itu selalu mengeluarkan bunyi : “Ting… Ting… Tang… Ting… Ting… Tang…”. Baginya ini adalah suara musik yang paling indah di dunia, terngiang-ngiang perkataan istri dan anaknya, terdengar suara nyanyian kebahagiaan…! Fan Niang

1 komentar:

  1. Kisah yang mengandung inspirasi yang dalam. Bagi bunga, kisah ini top abiss.

    BalasHapus