Rabu, 31 Maret 2010

Tidak Mengkritik, Menyalahkan Dan Mengeluh

Eugene OKelly awalnya adalah presiden merangkap CEO dari perusahaan akuntan terkenal dunia. Bulan Mei 2005, ia menderita penyakit lumpuh pada pipi kanan (cheeks paralysis), saat pergi periksa ke rumah sakit, dokter mendiagnosanya sebagai tumor otak tingkat akhir, usianya tinggal 3 hingga 6 bulan.

Meskipun berada di tengah bayangan redup kematian, Kelly tidaklah menung-gu kematian dengan duduk tepekur dengan sedih, sebaliknya dengan aktif melakukan pencatatan 100 hari lebih pasca diagnosa sampai dengan kematiannya, telah menyelesaikan buku berjudul “Mengejar Sinar Mentari”. Dalam buku tesebut dipenuhi dengan gelora kehidupan dan terjual laris di seluruh dunia. Membaca buku itu, membuat saya sering kali merenung.

Apabila Anda hanya bisa menikmati 100 hari lebih, bagaimana Anda melewatinya? Pekerjaan apakah yang hendak Anda manfaatkan untuk hari-hari terakhir? Terhadap orang terkasih, akankah mengatakan perkataan yang biasanya tidak berpeluang mengatakannya?

Terinspirasi oleh buku tersebut, saya menelpon adik perempuan saya, memuji ke-lebihannya yang tidak suka mendendam. Tidak mendendam, betul-betul bukan hal yang mudah, terhadap orang-orang tertentu saya sendiri kadangkala masih bisa merasa sakit hati.

Saya pernah membaca sebuah berita tentang Sri Paus Yohanes ke 23. Beliau pernah mengingatkan diri sendiri di dalam catatan hariannya, harus menghindari mengkomplain dan menyalahkan orang lain. Dari situ bisa terlihat beliau hendak menjadi seorang yang berlapang dada dan tidak suka melihat kekurangan orang lain, juga dibutuhkan koreksi diri yang terus menerus dan kesadaran.

Itulah sebabnya, di dalam Golden Rule (aturan emas) Carnagie tentang hubungan interpersonal, nomor satu ialah: “Tidak mengkritik, tidak menyalahkan, tidak mengeluh.”

Coba bayangkan, apabila ke dalam sebuah botol yang sudah terisi penuh dengan kerikil, tak peduli bagaimana seringnya Anda menuangkan air ke dalamnya, pasti botol itu hanya mampu memuat sedikit air saja, hanya apabila Anda mengosongkan botol tersebut, baru bisa menuangkan air ke dalamnya.

Hubungan interpersonal juga memiliki logika yang sama, apabila terhadap orang lain Anda dipenuhi dengan kritikan, teguran dan keluhan, maka antara dia dan Anda tak akan mampu “teraliri” niat baik dan kehangatan, sangat sulit menegakkan komunikasi yang baik dan interaktif.

Oleh karena itu, Carnegie menorehkan “3 tidak” ini sebagai rule nomor 1 dari Golden Rule, sesungguhnya memiliki makna pengertian yang sangat mendalam.

Pada dasarnya, “Tidak mengritik, tidak menyalahkan orang, tidak mengeluh” justru adalah semacam “perombakan batin” yang mengubah kita dari sikap yang sebelumnya negatif, runcing tajam, suka mengritik, berubah menjadi proaktif dan positif. Kemudian, tanpa diduga Anda akan menemukan, ketika Anda sudah berubah, seiring dengan itu hubungan Anda dengan orang lain juga akan berubah.

Teringat sewaktu saya baru saja datang ke Amerika untuk mengikuti workshop Carnegie, sudah berusia 40 tahun lebih, telah mengumpulkan sedikit pengalaman hidup, demi nama besarnya menempuh ribuan km, tak dinyana pelajaran pertama adalah “Tidak mengkritik, tidak menyalahkan orang, tidak mengeluh”, reaksi pertama saya adalah: “Hanya ini saja?! Bukankah terlalu sederhana?” Untuk sesaat, betul-betul merasa agak kecewa.

Pelajaran waktu itu harus ditempuh selama 14 minggu, sesudah 14 minggu, saya sekonyong-konyong menemukan, telah terjadi perubahan gaib pada diri sendiri, “3 tidak” yang digarisbawahi oleh Carnegie, dilihat sekilas nampak sangat mudah, akan tetapi prinsip termudah kadangkala adalah yang termujarab.

Sewaktu di AS saya berkenalan dengan seorang asisten khusus dari presiden direktur sebuah perusahaan besar, wajahnya cantik, namun pergaulannya tidak mulus, sering kali cekcok dengan teman sejawat, dia sendiri juga merasa tidak enak di hati, maka itu suasana hatinya sangat gundah.

Suatu hari, presdir perusahaan berkata kepadanya, “Idealnya Anda cari cara untuk menyelesaikan persoalan interpersonal, jika semua kepala bagian setiap departemen masih saja tidak mampu bekerja sama dengan Anda, maka sayapun tak kuasa melindungi Anda lagi.”

Karena itu, wanita tersebut lantas menerima training Carnegie dan mempelajari “3 tidak”. Kemudian, saya menjumpai presdir tersebut, ia memberitahu saya, “Sesudah beberapa minggu, saya seolah tidak berani mempercayai mata saya, saya melihat dengan mata kepala sendiri perubahan pada diri wanita tersebut.”

Karena mempertahankan prinsip 3 tidak, dia tidak lagi sebagai landak yang perlu dihindari oleh orang-orang, hubungan interpersonalnya telah memperoleh perubahan sangat baik.

Setiap orang bisa saja memiliki duri tajam yang tidak saja melukai orang lain, pada akhirnya ia juga bisa melukai diri sendiri. Bagaimana dari berduri-tajam berubah menjadi batu yang bulat mulus, yaitu harus menjalankan tidak mengkritik, tidak menyalahkan orang, tidak mengeluh.

Prinsipnya sedikitpun tak sulit dipahami. Ketika Anda mengritik dan menyalahkan orang lain, justru seperti menempuh sebuah marabahaya, sangat mungkin melukai kehormatan orang tersebut.

Meskipun kritikan dan teguran Anda bermaksud baik, tapi begitu martabat pihak lain terusik, meski ia tahu dirinya keliru, bisa saja mati-matian membela diri, itulah sebabnya kritik dan teguran serta keluhan, kadangkala hanyalah semacam pelampiasan emosi, yang tak mampu menyelesaikan masalah, malah membuat jarak interpersonal semakin menjauh.

Meskipun hubungan yang paling akrab pun, mungkin saja karena kritik dan teguran serta keluhan lantas menjadi renggang.

Sewaktu kecil, saya sering mangkal di depan gereja menonton misa. Ada seorang pastor bule warganegara Kanada acap kali mengingatkan jemaatnya, hal yang paling mengandung daya perusakan terhadap hubungan keluarga ialah kritik. Banyak orang sebagai suami, atau istri, setiap hari mengomel, senantiasa menunjukkan kekurangan dan kejelekan pihak lain, alhasil perkawinan mereka menjadi hancur.

Kala itu, kami merasakan yang dikhotbahkan sang pastor tidak terlalu masuk akal, akan tetapi, sesudah melalui perjalanan hidup selama ini, menyaksikan banyak perkawinan yang semestinya bisa harmonis toh akhirnya berantakan, mau tak mau mengakui bahwa sang pastor telah melihat bahwa kritikan, teguran dan keluhan, betul-betul adalah pisau tajam bagi kelangsungan hubungan akrab.

Marilah kita simak kisah murid Carnegie, pasutri Li Limei dan Qiu Jiquan.

Limei dan Jiquan yang telah lama menikah, tiba-tiba perkawinannya mengalami gelombang surut. Jiquan yang mengajar selain sibuk di kantor, juga setiap urusan selalu mendahulukan teman-temannya pada posisi utama. Sudah berjanji hendak piknik sekeluarga, namun begitu temannya menelpon mengajak main majong (red.: sejenis permainan judi khas Tiongkok), Jiquan dengan segera mendampingi temannya bermain majong.

Sebetulnya ia juga tidak suka main, hanya saja tidak ingin mengecewakan mereka. Juga pernah suatu kali, karena teman ada urusan hendak ke luar negeri selama 2 minggu, Jiquan dengan suka rela setiap hari tepat waktu memberi makan anjingnya, namun mendampingi keluarga makan di luar pun malah tak rela.

Limei merasa dirinya dicampakkan, wajar saja kalau mengajukan protes. Karena cara penyampaian yang tanpa tedeng aling-aling, Jiquan juga tak mau kalah membalas beberapa patah kata. Kedua orang itu larut dalam saling melempar kata-kata tajam bak pedang. Akhirnya lagi-lagi perang dingin selama beberapa hari.

Akhirnya Limei memberanikan diri, mengikuti workshop Carnegie di Tai Dung, Taiwan, dan ia berkesimpulan:

Daripada harus mengubah suami, mendingan mengubah dahulu sikapnya terhadap sang suami. Ketika Jiquan sekali lagi pulang larut malam, Limei membatalkan sikapnya yang pada awalnya hendak siap perang, diubahnya dengan proaktif menyajikan secangkir kopi kepada suami, Jiquan merasa terkejut, pasangan itu mulai berdialog dengan hati tenang dan nada menyejukkan.

Oleh karena Limei tidak lagi dipenuhi dengan keluhan, hubungan pernikahan tersebut mengalami kemajuan, kemudian Jiquan mengikuti workshop Carnegie, menjadi adik seperguruan dari istri dan putrinya, ia memutuskan mengubah sikap acuhnya selama bertahun-tahun terhadap keluarganya, mengharapkan mereka menjadi manusia paling berbahagia di seluruh dunia.

Sekarang, Limei dan Ji-quan mengelola penginapan di Tai Dung. Pepohonan dan perdu di taman semuanya dikerjakan Jiquan. Di saat ada tamu berkunjung, penyajian teh ataupun kopi juga dilayani olehnya, total bagaikan seorang lelaki baik-baik yang lagi kasmaran. Segala perubahan ini, semuanya bermuara dari “3 tidak”nya.

Marilah kita menggunakan “3 tidak” pada berbagai hubungan interpersonal, maka Anda akan menemukan, efeknya begitu menakjubkan.

Belakangan ini, para politisi sedang gemar “Bicara ceplas-ceplos”, saling menyerang dengan perkataan yang menusuk tajam, sama sekali tidak ada dialog, hanya saling menyemprotkan air liur.

Saya percaya, jikalau para politisi bisa menyadari makna sesungguhnya dari “tidak mengkritik, tidak menyalahkan orang, tidak mengeluh”, mengurangi konfrontasi yang negatif itu, masyarakat kita pasti bisa berubah harmonis dan jauh lebih indah.

Kembali ke buku “Mengejar Sinar Mentari”, diban-dingkan dengan Eugene O Kelly, kita sungguh-sungguh jauh lebih beruntung, namun jangan dilupakan, kehidupan itu ada batasnya, apabila kita menganggap setiap hari sebagai hari terakhir dari kehidupan kita, maka akan menemukan, memboroskan waktu untuk kritik, celaan dan keluhan, adalah hal yang sangat tidak bernilai. Disadur dari Kalkulasi Kehidupan

Sabtu, 20 Maret 2010

Pengampunan adalah Anugerah

Pengampunan adalah Berkah buat yg mengampuni; Hadiah, hak, Anugerah ter-indah bagi kita yang sanggup meng-ampuni dan mengendalikan emosi.... (Louisa)

buktinya:


Bagaimana emosi dapat menyebabkan penyakit.

Beberapa pemikiran tentang penyembuhan di hari yang dingin, musim dingin di New York City. Saya berharap ini dapat digunakan, dan mungkin akan menginspirasi anda untuk mencari petunjuk pada penyembuhan dari dalam ke luar.

Semua penyembuhan adalah benar-benar tentang penyembuhan emosional. Ini secara harfiah merupakan "pekerjaan di dalam." Itulah sebabnya saya menyebutnya penyembuhan dari dalam ke luar.

Emosi-emosi yang tertekan dapat menyebabkan penyakit. Bagaimana penyakit ini terwujud pada masing-masing dari kita adalah benar-benar berbeda satu sama lain. Melepaskan emosi dapat menyembuhkan penyakit. Bahkan kanker. Bahkan penyakit yang dianggap tak dapat tersembuhkan oleh ilmu kedokteran Barat.

Mungkin konsep pengertian ini terlihat berlebihan, namun ia telah terdokumentasi dengan baik oleh alat-alat penyelidikan sains Barat, dan juga ditemukan dalam ajaran tradisi penyembuhan global di seluruh dunia. Rincian-rinciannya berada di luar ruang lingkup esai ini, tetapi dapat ditemukan dalam seri artikel sebelumnya "The Power of the Mind."

Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan: Ini adalah tiga emosi utama yang dapat menyebabkan penyakit. Ketiganya adalah perasaan yang normal dan alami, dan kita semua mengalaminya sebagai aspek alamiah insani kita yang hebat. Tapi ketika perasaan-perasaan ini tetap diinternalisasi tanpa jalan untuk berekspresi dan melepas, ia dapat menciptakan suatu keadaan bergetar dalam tubuh-pikiran kita yang mengganggu keseimbangan homeostatis alami kita.

Ketidakseimbangan ini dapat terekspresikan dalam gejala-gejala tubuh-pikiran. Saya menggunakan istilah tubuh-pikiran karena gejala-gejala ini dapat mengekspresikan diri mereka dalam gejala fisik atau sebagai gejala emosional atau pun keduanya. Ketika gejalanya menjadi cukup keras, kita mungkin akan memiliki suatu label oleh mereka dalam ilmu kedokteran Barat - suatu penyakit.
Emosi-emosi Tertekan

Dari mana emosi-emosi tertekan itu berasal? Ini tergantung pada wawasan hidup anda.

Pertama, mereka mungkin berasal dari pengalaman yang kita miliki dalam hidup ini yang traumatis. Paling sering, pada anak usia dini, hal ini terjadi setelah kita kehilangan keadaan luar biasa yang tanpa disadari dan menjadi sadar dan menyesuaikan diri serta peka terhadap pengalaman di sekitar kita. Kita mungkin memiliki pengalaman yang sangat menyakitkan secara emosional, dan suatu respon alami kemungkinan adalah untuk melindungi diri sendiri dan menginternalisasi emosi ini.

Sumber lain emosi yang tertekan mungkin adalah pengalaman hidup masa lalu. Jika konsep ini menantang, saya meminta anda untuk menangguhkan semua ketidakpercayaan dan bacalah terus. Ada berbagai badan penelitian, yang dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka, yang mendukung kebenaran fenomena ini. Sekali lagi, rincian-rinciannya berada di luar cakupan di sini, tapi silakan tulis rincian-rinciannya jika anda tertarik.

Pengalaman hidup masa lalu yang traumatis dan tidak sembuh selama inkarnasi masa lalu mungkin telah terbawa bersama ketika kita memasuki tubuh-pikiran kita sekarang dalam kehidupan saat ini. Menariknya, wawasan kehidupan masa lalu ini di-sharingkan oleh kebanyakan tradisi penyembuhan global. Tradisi penyembuhan ini menampung dan memanfaatkan konsep-konsep tersebut dalam pemahaman dan perawatan mereka terhadap kesehatan dan penyakit.

Dr. Muehsam adalah seorang dokter, musisi, dan penulis yang berdomisili di New York City. E-mail: transformationalmedicine@gmail.

Kebahagiaan Sedang Bernyanyi

Mendengar Kebahagiaan Sedang Bernyanyi

Untuk sebuah program baru, selama berhari-hari ia berkutat di depan komputer. Setelah akhirnya terselesaikan, ia menghela nafas panjang berdiri di depan komputernya. Mendadak matanya menjadi gelap, tidak kelihatan apa-apa.

Setelah didiagnosa, dokter mengatakan bahwa ia telah menggunakan mata secara berlebihan sehingga terjadi kebutaan sementara. Dengan pengobatan teratur dan istirahat yang cukup, tak lama kemudian matanya akan kembali seperti sedia kala.

Terjerumus ke dalam kegelapan secara mendadak, membuatnya menjadi risau bercampur cemas. Kadang kala ia berteriak histeris, sebentar diam, lalu sebentar sedih sambil berkeluh kesah sendiri. Istrinya justru menunjukkan ekspresi wajah yang tenang seolah tidak terjadi apa-apa.

Dengan suara lembut ia meng-hibur dengan berkata, “Dokter bilang, istirahat yang cukup akan cepat pulih kembali, tidak ada gunanya dirimu merasa cemas, lagipula itu tidak baik bagi matamu. Toh tidak perlu masuk kerja, juga tidak ada rapat dan dinas keluar, juga tidak perlu bergadang. Lebih baik bersantai saja dan anggaplah sakit kali ini sebagai suatu liburan, sekaligus juga menemani saya di rumah.”

Mudah bagi istrinya untuk mengatakannya, namun bagi dirinya yang sedang terperosok di dalam kegelapan, selalu merasa tak kuasa melawan perasaan takut yang datang mendadak. Terlebih di saat suasana rumah sedang sunyi, ia lebih merasakan kehampaan yang tiada tara.

Istrinya seperti mengerti jalan pikirannya, segera dibelinya 3 buah lonceng kecil. Satu pasang diletakkan di pinggir bantalnya, yang cukup digoyangkannya jika ada keperluan, dan sang istri akan segera datang begitu mendengar suara lonceng itu. Satu buah lagi dipasangkan di pegelangan tangan anak perempuan mereka, dan yang satu lagi dibawa oleh sang istri. Dengan demikian di mana pun mereka berada, sedang mengerjakan apa pun, ia akan segera tahu begitu mendengarnya.

Sejak itu di berbagai penjuru rumah terdengar bunyi lonceng, wujud rumah itu bersama dengan istri dan anaknya pun seolah kembali hidup di hadapannya, ia tidak lagi merasakan kehampaan yang tiada batas di sekitarnya. Sepasang lonceng miliknya sendiri jarang sekali dipakai, karena istrinya sudah mengurus berbagai keperluannya dengan cermat.

Ia konsentrasi terhadap bunyi kedua buah lonceng tersebut. Pada awalnya ia hanya bisa merasakan bunyi lonceng itu yang kacau balau. Kemudian ia perlahan-lahan bisa membedakan suara mana yang berasal dari lonceng istrinya dan anaknya.

Suara lonceng dari anak perempuannya selalu tergesa-gesa dan nyaring, lebih-lebih setelah ia pulang dari sekolah dan masuk ke dalam rumah, ia selalu mengambil lonceng yang disimpan di atas rak sepatu begitu tiba di rumah lalu memasangkannya, yang akan bergoyang mengeluarkan suara “ting-tang-ting-tang” seiring dengan ia berlari sepanjang jalan menuju ke tempat tidurnya lalu tengkurap di atas tubuhnya sambil berteriak, “Ayah, hari ini guru mengajarkan aku sebuah lagu bahasa inggris yang baru, saya nyanyikan untuk ayah ya.”

Suara lonceng yang nyaring dan suara lagu kekanak-kanakan memenuhi seluruh penjuru rumah. Sambil mendengarkan lagu itu, ia membayangkan setiap ekspresi dan gerakan dari anak perempuannya itu, mau tidak mau dari wajahnya merekah sebuah senyuman. Pada saat itu barulah disadarinya bahwa telah sedemikian lamanya ia tidak merasa keakraban dengan putrinya itu.

Sementara suara lonceng istrinya mengalun pelan dan mantap, membuatnya teringat di kala ia sering pulang larut malam, sang istri selalu menyambut dengan suara lirih yang bertanya, “Sudah makan? Saya sudah menyiapkan sup jamur kuping putih…” Setiap kali berada di rumah, suara lonceng yang mantap ini bagaikan suara aliran sungai yang bergulung-gulung tiada hentinya, tidak deras juga tidak pelan, tidak ada waktu untuk beristirahat; cuci sayur, masak nasi, mengelap meja, menyapu lantai, selang beberapa waktu datang berbicara sebentar dengannya. Seperti tidak mengenal lelah, tangannya selalu sibuk dengan sesuatu hal.

Kalau dulu sepulang dari kantor, ia selalu merebahkan diri di atas sofa dan tak bergerak sama sekali, dan selalu mengeluhkan betapa capeknya dirinya. Istrinya yang juga bekerja seperti dirinya, sepulangnya dari kerja justru tetap sibuk tiada hentinya oleh pekerjaan rumah, sebenarnya sang istri juga sama lelahnya dengan dirinya.

Ketika putrinya sedang sekolah dan istrinya sedang keluar rumah mengurus sesuatu, pasti akan diletakkannya sebuah radio kecil di samping ranjang suaminya itu, dia bilang itu untuk mendengarkan lagu-lagu dan berita. Tapi ia merasa lebih baik melamun sambil mendengar suara deru mobil di luar jendela, dan sama sekali tidak ingin menyetel radio. Yang disenanginya hanyalah komputer, radio baginya hanyalah produk yang berteknologi rendah.

Istrinya berkata, “Kamu sudah lupa? Sewaktu kita kuliah, kamu paling suka mendengarkan siaran radio, terlebih mendengar acara stasiun radio yang bisa meminta lagu. Ingat sewaktu ulang tahunku yang ke-20, engkau bilang akan memberikan sebuah hadiah spesial bagiku.”

“Hari itu, aku menantikan ha-diah pemberianmu, akan tetapi seharian tidak terlihat batang hidungmu. Hampir menjelang siang baru ada telepon darimu, yang menyuruhku untuk mendengar siaran radio. Tak lama setelah menyalakan radio, terdengar penyiar itu menyebut namaku, yang mengatakan bahwa ada seorang pria yang mencintaiku telah meminta diputarkan lagu yang berjudul Rembulan Hatiku, dan mendoakan ulang tahunku.”

“Ketika radio melantun lagu itu, aku sungguh-sungguh merasakan kebahagiaan yang tidak bisa kukatakan dengan kata-kata. Teman satu kos merasa iri padaku. Kemudian hari engkau memberitahu bahwa agar aku bisa mendengarkan lagu ini tepat pada hari ulang tahunku, kamu telah menulis surat satu bulan lebih awal pada pembawa acara dari stasiun radio tersebut. Selain itu, karena takut si penyiar radio tidak menerima suratmu, engkau sengaja pergi ke stasiun radio tersebut. Itu merupakan hadiah ulang tahun terindah sepanjang hidupku.” Dalam suara sang istri tersirat kebahagiaan dan juga sebersit kebingungan.

“Apakah aku seromantis itu?”, jika bukan sang istri yang mengingatkan, dirinya pun sudah lupa akan hal itu.

“Tentu. Tapi setelah menikah, kian hari kian tidak romantis”, kata istrinya sambil tertawa, namun tidak ada nada keluhan sama sekali.

“Sebenarnya aku juga ingin romantis, juga ingin membuatmu bahagia. Saya selalu berpikir agar suatu hari nanti jika ada kesempatan aku pasti akan mengajakmu berlibur…”, bicara sampai disini wajahnya menjadi muram.

Sambil menghela nafas berkata, “Sepertinya angan-angan itu tidak begitu realistis…”

Seperti tidak mendengar helaan nafasnya, sang istri berkata, “Kamu kira hanya liburan yang bisa disebut romantis? Sebenarnya setiap hari bisa makan malam bersamamu, berbincang-bincang denganmu saya merasa sudah cukup romantis. Dalam syair sebuah lagu : “yang terpikir olehku hal yang paling romantis adalah bersama dengan dirimu hingga perlahan-lahan menjadi tua…” Ini baru benar-benar romantis, kebahagiaan yang agung.”

Lagu ini juga sering didendangkan oleh sang istri, akan tetapi hanya pada saat itu, saat ia hanya mampu menggunakan telinga untuk merasakan dunia ini, dia baru bisa benar-benar memahami arti syair dalam lagu ini, mendendangkan kebahagiaan yang sederhana.

Rebah di atas ranjang, ia mendapatkan pemahaman baru terhadap kehidupannya, juga menjadi sangat mengharapkan agar matanya bisa segera sembuh.

Setelah delapan bulan, matanya benar-benar telah sembuh!

Untuk merayakan kesembuhannya, diajaknya keluarganya untuk makan bersama di luar. Lampu-lampu jalanan yang gemerlapan, arus manusia yang lalu lalang tiada hentinya, pemandangan ini dulunya dianggap sangat biasa, kini seolah telah berubah menjadi sangat indah di matanya. Sewaktu makan, ia memilihkan menu untuk anak dan istrinya, lalu memusatkan perhatian melihat mereka makan, ada semacam kebahagiaan di dalam hati yang tidak bisa diungkapkan-nya.

Putrinya berkata, “Ayah, saya berharap mata ayah segera sembuh tapi juga berharap agar ayah jangan segera sembuh.” Dengan marah sang istri memelototi putri mereka dan berkata, “Kamu ini bicara apa sih!”

Sang putri tidak menghiraukan ibunya, terus menatap ayahnya dan melanjutkan perkataannya, “Dua hari setelah mata ayah mengalami kebutaan, saya mencoba untuk berjalan mengelilingi rumah dengan mata terpejam, saya merasakan bahwa mengalami kebutaan memang sangat menderita. Memikirkan penderitaan yang ayah pikul, saya juga merasa sangat menderita, lalu saya berharap agar ayah bisa segera sembuh. Lagipula, jika mata ayah belum sembuh, setiap hari ibu selalu diam-diam menangis, sampai mata ibu menjadi lebam.” Ia memandang istrinya dengan terkejut.

Mata istrinya pun memerah dan berkata, “Hari-hari itu sebenarnya saya sangat takut, karena dokter berkata pada saya, bahwa kejadian seperti kamu ini sangat bervariasi. Ada yang bisa segera sembuh, bisa segera pulih penglihatannya, ada juga yang setelah selang beberapa tahun pun tidak ada perbaikan. Saya sungguh…”

Matanya pun ikut memerah, lalu dirangkulnya pundak istrinya dengan erat tanpa bisa mengeluarkan kata-kata. Bisa dibayangkan, selama hari-hari itu, istrinya telah terbebani oleh tekanan yang sangat besar.

Anaknya berkata lagi, “Saya juga takut jika mata ayah telah sembuh, ayah tidak serius lagi mendengarkan aku membaca pelajaran dan menyanyi. Dan ayah akan pulang larut malam lagi, setiap hari aku tidak akan dapat menjumpai ayah lagi.”

Tangan lainnya segera merangkul putrinya. Dengan suara sesunggukan ia berkata, “Tidak akan. Ayah pasti tidak akan selalu menjadi pendengar yang baik apabila kamu bernyanyi dan selalu menemani ibumu berbincang-bincang..”

Hari itu setelah tiba di rumah, ia sengaja menggantungkan tiga buah lonceng itu di dalam mobilnya. Setelah itu, setiap ia meninggalkan rumah, di saat mobilnya meluncur di jalan, lonceng itu selalu mengeluarkan bunyi : “Ting… Ting… Tang… Ting… Ting… Tang…”. Baginya ini adalah suara musik yang paling indah di dunia, terngiang-ngiang perkataan istri dan anaknya, terdengar suara nyanyian kebahagiaan…! Fan Niang

Kamis, 11 Maret 2010

Sebuah Keuntungan Kecil Berakibat Hal yang Berat

Pada zaman dinasti Qin, di masa pemerintahan Kang Xi, ada pasangan suami-isteri sedang menyirami sawahnya di kaki Gunung Kunshan. Tiba tiba mendadak hujan deras turun, petir menggelegar dan menyambar sang suami sampai tewas. Mengetahui hal ini, warga kampung berbondong-bondong datang dan membantu istri yang malang itu untuk mengevakuasi jenazah suaminya. Mereka berpikir mengapa nasib buruk menerpa sang suami yang terkenal baik hati itu. Sang istri dalam dukanya yang mendalam mengatakan, “Saya tahu hal ini terjadi karena 18 ons daging.”


Para warga kampung terpana dan ingin mendengar lebih jauh perkataan sang istri.

“Musim dingin lalu, suami saya pergi ke seberang sungai untuk membayar pajak. Saat tiba di tepian, ia mengikat perahunya dan terlihat olehnya ada daging tergeletak di kapal kosong didekat situ. Tidak ada orang disekitarnya, ia menganggap daging itu tak bertuan, membawanya pulang dan menimbangnya, 18 ons dan menggorengnya untuk lauk makan siangnya. Lalu ia mendengar berita bahwa di tepian sungai itu ada seorang pembantu yang tewas di tangan majikannnya karena kehilangan 18 ons daging, kejadian sebelumnya adalah saat ia membersihkan daging itu di sungai lalu ditinggal sebentar untuk mengambil sesuatu didalam rumah, namun ketika ia kembali daging sudah lenyap, dan ketika pulang dengan tangan kosong, majikannya begitu marah dan memukulinya bertubi-tubi, tak sengaja membunuhnya.

Suami majikannya saat pulang ke rumah begitu kaget mengetahui istrinya menewaskan sang pembantu, didalam kebingungan dan ketakutannya, sang istri gantung diri.

Dan sekarang, suami saya tewas disambar petir.

“Saat memperoleh sesuatu yang bukan milik kita, orang mungkin berpikir bahwa hal itu adalah sebuah keberuntungan. Namun pada kenyataannya, hal itu membawa petaka dan kesengsaraan bagi orang lain, “ isak sang istri.

“Sebuah keberuntungan kecil ternyata membawa akibat yang sangat buruk..” (yqm)

Kamis, 04 Maret 2010

Mengatur Tangan

Di kota kecil ini, paman saya merupakan orang pertama yang menjual daging. Berdagang selama bertahun-tahun membuat ia telah terlatih. Ia memiliki ketrampilan memotong daging dengan berat yang tepat sesuai permintaan. Tidak peduli Anda membeli seberapa berat, dengan sekali potong saja berat daging itu dijamin adalah berat daging yang Anda inginkan. Oleh sebab itu ketenaran kios dagingnya menyebar kemana-mana dan ramai sekali.

Hari itu, datang seorang kepala pemborong yang merasa penasaran. Dia meletakkan uang 5 juta rupiah di atas meja, dan berkata bahwa dia ingin membeli 1,98 kg daging beserta tulang, 3.96 kg daging tanpa lemak, dan 5,94 kg daging yang berlemak, jika bisa sekali potong dengan berat persis yang dia inginkan maka setumpuk uang di atas meja itu semua akan diberikan kepada paman saya.

Saya yang berdiri di samping membakar semangat paman dan berkata: "Kalau begitu cepat potonglah, Paman!"

Sedangkan paman membalikkan tubuhnya, terus-menerus mengasah pisaunya, seperti dia sedang memikirkan sesuatu. Setelah lewat beberapa lama kemudian, dia mengangkatkan kepala memandang ke arah kepala pemborong tersebut: "Tiga bagian daging yang Anda inginkan tersebut akan saya potongkan, Anda bayar sesuai dengan berat daging tersebut, selebihnya satu sen pun tidak akan saya terima."

Selesai berbicara dia langsung mengayunkan pisau untuk memotong, dengan cepat sekali tiga bagian daging yang diinginkan oleh pembeli selesai terpotong, setelah ditimbang sungguh tepat berat setiap bagian daging, tidak selisih satu gram pun, orang-orang yang menonton di sekeliling tak henti-hentinya memuji.

Pulang ke rumah saya bertanya kepada paman: "Harga daging tersebut tidak sampai lima juta, mengapa tantangan itu tidak Anda terima saja?"

Paman tertawa dengan lugu: "Hati berseri-seri jika melihat uang, dalam hati akan timbul kekalutan, jika kalut pasti akan gugup, dengan sendirinya mata menjadi kabur dan tangan bergemetaran, keterampilan yang Anda miliki akan hilang, masih akan mengundang ejekan dari orang lain."

Di kemudian hari ketika usia paman sudah cukup tua, dia sudah tidak berdagang lagi. Dia hidup santai di rumah menjaga cucu-cucunya. Saat itu ada orang lain yang membuka kios daging, ingin merekrut paman dengan gaji sangat tinggi, yang dipakai hanya ketenaran namanya untuk menarik pembeli.

Tetapi paman bersikukuh menolak, dia berkata bahwa selain tidak mengeluarkan tenaga sendiri ia tidak mau mengibuli orang lain, ia tidak akan mau uang semacam itu!

Ketika paman tepat berusia 80 tahun, kami semua sebagai generasi muda datang ke tempat paman untuk merayakan hari ulang tahun bersamanya, paman sangat gembira.

Sambil mengangkat gelas minumnya tinggi-tinggi ia berkata kepada kita semua: "Seumur hidup ini saya senantiasa mengatur sepasang tangan saya untuk tidak mengeruk dan mengambil sesuatu yang mengingkari hati nurani, lebih-lebih tidak memiliki niat harus menggengam sesuatu dan tidak ingin dilepaskan. Oleh karena itu hati ini bersih dari kekalutan, tenang dan damai, hidup dengan santai dan bergembira...." Huang Tong