Kamis, 20 Oktober 2011

Bapa Celso Costantini di Gua Maria Air Sanih

Bapa Celso Costantini, pendiri Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan)











bahagia

Selasa, 22 Februari 2011

Jiwa anak tercermin dari lukisan

Sebelum bubar sekolah, saya memesan kepada murid-murid saya membersihkan meja dan memungut sampah yang ada didalam ruangan kelas. Ketika anak-anak sibuk mengumpulkan buku-buku, pensil dan peralatan sekolahnya dimasukkan kedalam tas, menunggu lonceng pulang berbunyi.

Saya melihat didekat tempat duduk Nana ada selembar tissue, saya lalu memperingati dia, “Nana , tolong buang tissue yang ada didekat kakimu.”

“Bukan saya yang membuang tissue itu!” Nana menjawab dengan ketus.

Saya memandang kepadanya dan berkata “Ehm, walaupun bukan engkau yang membuang, engkau dapat berbuat amal membuangnya!”

Mendengar kata “amal” setiap anak kecuali Nana berebutan membuang tissue itu.

Setelah lonceng berbunyi semua anak-anak meninggalkan ruang kelas, hanya Nana yang duduk di ruang kelas menunggu ibunya, “Kenapa tadi ibu guru menyuruh kamu memungut tissue yang ada dilantai engkau tidak mau melakukannya?” Saya sekali lagi dengan penasaran bertanya kepadanya.

“Saya tidak ingin memungut!” dengan ketus dia menjawab, mendengar kata-katanya yang ketus saya merasa tidak enak.

Nana adalah seorang murid yang tahun lalu tidak naik kelas, ibunya sangat heran kenapa anak yang begitu pintar setiap hari menangis tidak mau pergi ke sekolah, sifatnya membuat guru-guru juga tidak menaruh simpati kepadanya, sehingga sangat memusingkan ibunya.

Pertama kali dia masuk kedalam kelas saya, melihat sifat yang ketus itu saya selalu berkata kepada diri sendiri, “Tidak apa-apa, pada suatu hari saya pasti bisa merubahnya.”

Setelah dua semester berlalu, dengan sekuat tenaga dan kesabaran saya membantunya, tetapi Nana masih tidak berubah, dia tidak serius belajar, hubungan dengan teman-teman sekelasnya juga sangat jelek, ibunya mengeluh dia selalu ribut dengan adiknya dan selalu melawan bapaknya.

Teman-teman kelasnya juga sangat tidak puas dengan perbuatannya, pada suatu hari beberapa teman kelas mengeroyoknya.

Nana sambil menangis berkata, “Semua orang tidak suka kepada saya, tidak mau bermain dengan saya, saya tidak mau sekolah lagi, sekolah adalah neraka, setiap muridnya adalah hantu….”

Saya dengan heran bertanya, “Ibu guru? Apakah ibu guru juga hantu?”

Tanpa berpura-pura dia mengganguk kepala mengiyakan.

Jawaban dari Nana membuat saya menghela nafas,”Anak malang sungguh kasihan! Yang dia lihat hanya kesalahan orang lain, hanya kejelekkan dari orang lain, dia tidak tahu kesalahan yang paling besar adalah dirinya sendiri”

Medengar perkataannya membuat saya sangat kecewa, saya merasa metode pengajaran saya yang selalu menerapkan kebaikan tidak selamanya bisa diterima oleh setiap murid.

“Jika ingin melihat dunia yang berada di mata anak, terlebih dahulu kita harus berlutut, posisi kita harus sama tinggi dengan anak ini memandang dunia ini.”

Perkataan ini menyadarkan saya, apakah selama ini saya sudah benar-benar sabar, benar-benar memperhatikannya, benar-benar sudah berusaha, benar-benar dengan cinta kasih membimbingnya?.

Mulai sekarang saya akan berusaha dengan keras memberi lebih banyak perhatian dan kasih sayang dan berusaha memahami jiwanya, setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan, hanya dengan kesabaran, toleran, selalu memperhatikannya, mengajarkan kepadanya kekurangannya dan memperbaiki kesalahannya, jangan pelit memberi kata pujian jika ia berbuat dengan baik, membimbing bakat yang dimiliki, dan membuat teman-teman sekelas yang lain mengetahui bahwa hari ini guru sudah memujinya.

Perlahan-lahan nama Nana sudah terdapat di buku kelakuan baik, saya sengaja membaca namanya didepan kelas untuk berbagi dengan teman-teman dikelasnya, saya menyuruh mereka mencatat kelakuan baik yang dilakukan teman-teman sekelas mereka, supaya bisa membimbing mereka mengetahui setiap orang mempunyai kelebihan dan kebaikan hati.

Selain itu saya secara rahasia mengumpulkan beberapa murid menyuruh mereka selama jam istirahat secara bergilir bermain dengan Nana, untuk mencairkan sifat ketusnya terhadap orang lain.

Setelah beberapa waktu berlalu, senyum Nana makin hari makin bertambah, perkataan yang diucapkan juga makin hari makin lembut.

Suatu hari saya bertanya kepada Nana, “Sekarang, bagaimana perasaanmu datang ke sekolah?” Nana berkata, “Akan saya lukiskan kepada ibu guru.”

Bakat melukis Nana sangat besar, diatas kertas putih lukisan yang dilukis dibagi atas dua bagian, dibagian pertama dilukis puluhan hantu kecil dengan gigi taring berada di dalam neraka, disamping itu ada sebuah wajan besar yang berisi minyak panas, di bagian kedua dilukiskan surga, setiap anak dengan sayapnya seperti malaikat, ibu guru juga berada disini.

Didalam lukisan ini saya bisa melihat perubahan dari Nana, membuat saya merasa bersemangat kembali, metode pengajaran yang sabar dan toleran sungguh membuahkan hasil, membuat dia tumbuh semakin dewasa dan membaik.

sebatang Pensil

BELAJAR HIKMAH DARI SEBATANG PENSIL

“Setiap orang membuat kesalahan. Itulah sebabnya, pada setiap pensil ada penghapusnya” (Pepatah Jepang)

Kali ini saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah kisah penuh hikmah dari sebatang pensil.

Dikisahkan, sebuah pensil akan segera dibungkus dan dijual ke pasar. Oleh pembuatnya, pensil itu dinasihati mengenai tugas yang akan diembannya. Maka, beberapa wejangan pun diberikan kepada si pensil. Inilah yang dikatakan oleh si pembuat pensil tersebut kepada pensilnya.

“Wahai pensil, tugasmu yang pertama dan utama adalah membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis. Kamu boleh melakukan fungsi apa pun, tapi tugas utamamu adalah sebagai alat penulis. Kalau kamu gagal berfungsi sebagai alat tulis. Macet, rusak, maka tugas utamamu gagal.”

“Kedua, agar dirimu bisa berfungsi dengan sempurna, kamu akan mengalami proses penajaman. Memang meyakitkan, tapi itulah yang akan membuat dirimu menjadi berguna dan berfungsi optimal”.

“Ketiga, yang penting bukanlah yang ada di luar dirimu. Yang penting, yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam dirimu. Itulah yang membuat dirimu berharga dan berguna bagi manusia”.

“Keempat, kamu tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka kamu harus membiarkan dirimu bekerja sama dengan manusia yang menggunakanmu”.

“Kelima. Di saat-saat terakhir, apa yang telah engkau hasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya dirimu yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil, melainkan pensil-pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga potongan terpendek. Itulah yang sebenarnya paling mencapai tujuanmu dibuat”.

Sejak itulah, pensil-pensil itu pun masuk ke dalam kotaknya, dibungkus, dikemas, dan dijual ke pasar bagi para manusia yang membutuhkannya.

Pembaca, pensil-pensil ini pun mengingatkan kita mengenai tujuan dan misi kita berada di dunia ini. Saya pun percaya bahwa bukanlah tanpa sebab kita berada dan diciptakan ataupun dilahirkan di dunia ini. Yang jelas, ada sebuah purpose dalam diri kita yang perlu untuk digenapi dan diselesaikan.

Sama seperti pensil itu, begitu pulalah diri kita yang berada di dunia ini. Apa pun profesinya, saya yakin kesadaran kita mengenai tujuan dan panggilan hidup kita, akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna.

Hilang arah

Tidak mengherankan jika Victor Frankl yang memopulerkan Logoterapi, yang dia sendiri pernah disiksa oleh Nazi, mengemukakan “tujuan hidup yang jelas, membuat orang punya harapan serta tidak mengakhiri hidupnya”. Itulah sebabnya, tak mengherankan jika dikatakan bahwa salah satu penyebab terbesar dari angka bunuh diri adalah kehilangan arah ataupun tujuan hidup. Maka, dari filosofi pensil di atas kita belajar mengenai lima hal penting dalam kehidupan.

Pertama, hidup harus punya tujuan yang pasti. Apapun kerja, profesi atau pun peran yang kita mainkan di dunia ini, kita harus berdaya guna. Jika tidak, maka sia-sialah tujuan diri kita diciptakan. Celakanya, kita lahir tanpa sebuah instruksi ataupun buku manual yang menjelaskan untuk apakah kita hadir di dunia ini. Pencarian akan tujuan dan panggilan kita, menjadi tema penting selama kita hidup di dunia.

Yang jelas, kehidupan kita dimaknakan untuk menjadi berguna dan bermanfaat serta positif bagi orang-orang di sekitar kita, minimal untuk orang-orang terdekat. Jika tidak demikian, maka kita useless. Tidak ada gunanya. Sama seperti sebatang pensil yang tidak bisa dipakai menulis, maka ia tidaklah berguna sama sekali.

Kedua, akan terjadi proses penajaman sehingga kita bisa berguna optimal, oleh karena itulah, sering terjadi kesulitan, hambatan ataupun tantangan. Semuanya berguna dan bermanfaat sehingga kita selalu belajar darinya untuk
menjadi lebih baik. Ingat kembali soal Lee Iacocca, salah satu eksekutif yang justru menjadi besar dan terkenal, setelah dia didepak keluar dari mobil Ford. Pengalaman itu justru menjadi pemacu semangat baginya untuk berhasil di Chrysler.

Ingat pula, Donald Trump yang sempat diguncang masalah finansial dan nyaris bangkrut. Namun, kebangkrutannya itulah yang justru menjadi pelajaran dan motivasi baginya untuk sukses lebih langgeng. Kadang penajaman itu ‘sakit’. Namun, itulah yang justru akan memberikan kesempatan kita mengeluarkan yang terbaik.

Ketiga, bagian internal diri kitalah yang akan berperan. Saya sering menyaksikan banyak artis, ataupun bintang film yang terkenal, justru yang hebat bukanlah karena mereka paling cantik ataupun paling tampan. Tetapi, kemampuan dalam diri mereka, filosofi serta semangat merekalah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Demikian pula pada diri kita. Pada akhirnya, apa yang ada di dalam diri kita seperti karakter, kemampuan, bakat, motivasi, semangat, pola pikir itulah yang akan lebih berdampak daripada tampilan luar diri kita.

Keempat, pensil pun mengajarkan agar bisa berfungsi sempurna kita harus belajar bekerja sama dengan orang lain. Bayangkanlah seorang aktor atau aktris yang tidak mau diatur sutradaranya. Bayangkan seorang anak buah yang tidak mau diatur atasannya. Ataupun seorang service provider yang tidak mau diatur oleh pelanggannya. Mereka semua tidak akan berfungsi sempurna. Agar berhasil, kadang kita harus belajar dari pensil untuk ‘tunduk’ dan membiarkan diri kita berubah menjadi alat yang sempurna dengan belajar dan mendengar dari ahlinya. Itulah sebabnya, kemampuan untuk belajar bekerja sama dengan orang lain, mendengarkan orang lain, belajar dari ‘guru’ yang lebih tahu adalah sesuatu yang membuat kita menjadi lebih baik.

Terakhir, pensil pun mengajarkan kita meninggalkan warisan yang berharga melalui karya-karya yang kita tinggalkan. Tugas kita bukan kembali dalam kondisi utuh dan sempurna, melainkan menjadikan diri kita berarti dan berharga. Itulah filosofi ‘memberi dan melayani’ yang diajarkan oleh Tuhan, Allah kita. Itulah sebabnya Ibu Teresa dari Calcutta ataupun Albert
Schweitzer yang melayani di Afrika lebih mengumpamakan diri mereka seperti sebatang pensil yang dipakai oleh Tuhan.

Yang penting, hingga pada akhir kehidupan kita ada karya ataupun hasil berharga yang mampu kita tinggalkan. Tentu saja tidak perlu yang heboh dan spektakuler.

oleh : Anthony Dio Martin