Selasa, 22 Februari 2011

Jiwa anak tercermin dari lukisan

Sebelum bubar sekolah, saya memesan kepada murid-murid saya membersihkan meja dan memungut sampah yang ada didalam ruangan kelas. Ketika anak-anak sibuk mengumpulkan buku-buku, pensil dan peralatan sekolahnya dimasukkan kedalam tas, menunggu lonceng pulang berbunyi.

Saya melihat didekat tempat duduk Nana ada selembar tissue, saya lalu memperingati dia, “Nana , tolong buang tissue yang ada didekat kakimu.”

“Bukan saya yang membuang tissue itu!” Nana menjawab dengan ketus.

Saya memandang kepadanya dan berkata “Ehm, walaupun bukan engkau yang membuang, engkau dapat berbuat amal membuangnya!”

Mendengar kata “amal” setiap anak kecuali Nana berebutan membuang tissue itu.

Setelah lonceng berbunyi semua anak-anak meninggalkan ruang kelas, hanya Nana yang duduk di ruang kelas menunggu ibunya, “Kenapa tadi ibu guru menyuruh kamu memungut tissue yang ada dilantai engkau tidak mau melakukannya?” Saya sekali lagi dengan penasaran bertanya kepadanya.

“Saya tidak ingin memungut!” dengan ketus dia menjawab, mendengar kata-katanya yang ketus saya merasa tidak enak.

Nana adalah seorang murid yang tahun lalu tidak naik kelas, ibunya sangat heran kenapa anak yang begitu pintar setiap hari menangis tidak mau pergi ke sekolah, sifatnya membuat guru-guru juga tidak menaruh simpati kepadanya, sehingga sangat memusingkan ibunya.

Pertama kali dia masuk kedalam kelas saya, melihat sifat yang ketus itu saya selalu berkata kepada diri sendiri, “Tidak apa-apa, pada suatu hari saya pasti bisa merubahnya.”

Setelah dua semester berlalu, dengan sekuat tenaga dan kesabaran saya membantunya, tetapi Nana masih tidak berubah, dia tidak serius belajar, hubungan dengan teman-teman sekelasnya juga sangat jelek, ibunya mengeluh dia selalu ribut dengan adiknya dan selalu melawan bapaknya.

Teman-teman kelasnya juga sangat tidak puas dengan perbuatannya, pada suatu hari beberapa teman kelas mengeroyoknya.

Nana sambil menangis berkata, “Semua orang tidak suka kepada saya, tidak mau bermain dengan saya, saya tidak mau sekolah lagi, sekolah adalah neraka, setiap muridnya adalah hantu….”

Saya dengan heran bertanya, “Ibu guru? Apakah ibu guru juga hantu?”

Tanpa berpura-pura dia mengganguk kepala mengiyakan.

Jawaban dari Nana membuat saya menghela nafas,”Anak malang sungguh kasihan! Yang dia lihat hanya kesalahan orang lain, hanya kejelekkan dari orang lain, dia tidak tahu kesalahan yang paling besar adalah dirinya sendiri”

Medengar perkataannya membuat saya sangat kecewa, saya merasa metode pengajaran saya yang selalu menerapkan kebaikan tidak selamanya bisa diterima oleh setiap murid.

“Jika ingin melihat dunia yang berada di mata anak, terlebih dahulu kita harus berlutut, posisi kita harus sama tinggi dengan anak ini memandang dunia ini.”

Perkataan ini menyadarkan saya, apakah selama ini saya sudah benar-benar sabar, benar-benar memperhatikannya, benar-benar sudah berusaha, benar-benar dengan cinta kasih membimbingnya?.

Mulai sekarang saya akan berusaha dengan keras memberi lebih banyak perhatian dan kasih sayang dan berusaha memahami jiwanya, setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan, hanya dengan kesabaran, toleran, selalu memperhatikannya, mengajarkan kepadanya kekurangannya dan memperbaiki kesalahannya, jangan pelit memberi kata pujian jika ia berbuat dengan baik, membimbing bakat yang dimiliki, dan membuat teman-teman sekelas yang lain mengetahui bahwa hari ini guru sudah memujinya.

Perlahan-lahan nama Nana sudah terdapat di buku kelakuan baik, saya sengaja membaca namanya didepan kelas untuk berbagi dengan teman-teman dikelasnya, saya menyuruh mereka mencatat kelakuan baik yang dilakukan teman-teman sekelas mereka, supaya bisa membimbing mereka mengetahui setiap orang mempunyai kelebihan dan kebaikan hati.

Selain itu saya secara rahasia mengumpulkan beberapa murid menyuruh mereka selama jam istirahat secara bergilir bermain dengan Nana, untuk mencairkan sifat ketusnya terhadap orang lain.

Setelah beberapa waktu berlalu, senyum Nana makin hari makin bertambah, perkataan yang diucapkan juga makin hari makin lembut.

Suatu hari saya bertanya kepada Nana, “Sekarang, bagaimana perasaanmu datang ke sekolah?” Nana berkata, “Akan saya lukiskan kepada ibu guru.”

Bakat melukis Nana sangat besar, diatas kertas putih lukisan yang dilukis dibagi atas dua bagian, dibagian pertama dilukis puluhan hantu kecil dengan gigi taring berada di dalam neraka, disamping itu ada sebuah wajan besar yang berisi minyak panas, di bagian kedua dilukiskan surga, setiap anak dengan sayapnya seperti malaikat, ibu guru juga berada disini.

Didalam lukisan ini saya bisa melihat perubahan dari Nana, membuat saya merasa bersemangat kembali, metode pengajaran yang sabar dan toleran sungguh membuahkan hasil, membuat dia tumbuh semakin dewasa dan membaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar